Thursday, October 24, 2013

Lonceng Kematian Konstitusi Kita

Oleh: Jonathan Alfrendi*
Indonesia berduka. Kali ini penyebabnya bukanlah akibat dari bencana alam, bukan juga akibat wafatnya tokoh nasional. Adalah kejadian tertangkapnya Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Rabu (3/10/2013) malam, akibat dugaan menerima suap terkait dengan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Akil ditangkap bersama-sama dengan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, pengusaha bernisial DH, dan seorang pengusaha Palangkaraya bernama Cornelis Nalau. Akil ditangkap saat akan ada penyerahan uang dari Chairun Nisa dan Cornelis Nalau kepada dirinya, yang terdiri dari 282.040 dollar Singapura dan 22.000 dollar Amerika Serikat. Uang tersebut adalah pemberian dari Hambit yang sedang berpekara dalam sengketa Pilkada di MK.
Selain kasus Gunung Mas, pria kelahiran Putussibau –Kalimantan Barat, juga terjerat dalam kasus suap perkara sengketa Pilkada Lebak di Banten. Ia disangka menerima suap 1 Miliar dari adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Pada kedua kasus tersebut, sang “penjaga konstitusi” ini dijadikan tersangka.
Pada momen selanjutnya, KPK mencium adanya dugaan pencucian uang hingga indikasi penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh Akil. Pihak KPK telah memblokir sejumlah rekeningnya dan aset-asetnya dibekukan, beserta tiga mobil mewahnya disita. KPK juga menyita surat berharga senilai diatas 2 Miliar. Diduga surat-surat berharga tersebut ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan Akil. Penyidik KPK juga menemukan narkoba di ruang kerja Akil di gedung MK. Namun hal itu masih terus ditelusuri.
Terkuaknya megaskandal korupsi yang melilit Ketua MK telah menggegerkan republik ini. Menjelang dua pekan, kasus penangkapan Akil ini menjadi hotnews di dalam maupun di luar negeri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun dibuat gundah, SBY segera melakukan berbagai strategi guna menyelamatkan wajah MK. Publik juga ikut terperangah mengapa seorang penjaga konstitusi negara, tidak menjaga kehormatan dirinya sendiri serta kehormatan lembaga tinggi yang dipimpinnya?  Tak habis pikir seorang penjaga benteng keadilan di negeri ini melakukan perbuatan tercela seperti itu.
Tak salah jika mantan Ketua MK ke-1, Jimly Asshiddiqie, geram atas kasus Akil. “Ini orang (Akil) harus segera diberhentikan. Bentuk segera majelis kehormatan. Kalau sudah tertangkap tangan, kan, berarti dia terbukti menerima. Menurut saya, pantasnya, orang ini dihukum mati. Walaupun undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk korupsi,” tegasnya.
Kita tentu sepakat dengan ucapan Jimly, bila terbukti bersalah, sebagai panglima konstitusi, Akil sudah seharusnya dihukum mati sebagai wujud tanggung jawab moralnya kepada rakyat. Apalagi ia pernah menyuarakan hukuman mati bagi para koruptor, akan tetapi, bagaimana bila itu menimpa dirinya?
Di lain pihak, mantan Ketua MK sebelum Akil, Mahfud MD, memandang kasus yang menjerat Akil seharusnya pantas masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) karena baru ada dan pertama kali. “Tak hanya di Indonesia saja yang gempar dengan kasus suap tersebut, tapi mengguncangkan dunia. Tak ada dalam sejarah ketua lembaga yudikatif ditangkap karena suap,” ujar Mahfud.
Hal itu bisa kita maklumi bahwasannya sejak tahun 2009, MK dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Saat itu rakyat pun kian berharap kepada MK dan KPK sebagai lembaga negara yang bisa diandalkan untuk mencukur habis korupsi di negara ini. Namun kini, wajah MK tercoreng-moreng oleh ulah pria bekas politisi asal Partai Golkar itu.
Lengkaplah sudah pilar-pilar trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif) di negara ini telah terserang penyakit yang bernama korupsi. Semua lini kehidupan bangsa ini yang terkait dengan kekuasaan sudah kecanduan oleh korupsi. Kini korupsi sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dan menggurita. Sungguh miris di tengah negeri yang agamis.
Apalagi MK sebagai penjaga gawang konstitusi yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan telah ditelanjangi oleh orang-orang yang bermental korup. Bila ditelisik, berarti ada yang salah dalam lembaga ini: apakah itu sistemnya atau Sumber Daya Manusianya (SDM). Atau malah kedua-duanya. Maka rumus sederhananya: sistem mesti dibangun dengan baik dan harus diisi oleh SDM yang lebih baik juga. Dan yang kita butuhkan adalah SDM yang punya kapasitas layaknya seorang negarawan, adil, serta tak silau terhadap uang.
Yang pasti, peristiwa penangkapan sang ketua nonaktif MK ini masuk kategori kejadian sangat luar biasa, bahkan bisa jadi sebagai lonceng kematian konstitusi kita, karena telah merusak sistem ketatanegaraan serta meruntuhkan wibawa penegak hukum. Akil telah mengkhianati konstitusi, ia tak sadar telah menyanyikan lagu kematian bagi tegaknya hukum dan keadilan di bumi Indonesia.
*Mahasiswa Pend.IPS UIN Jakarta, semester madya;
Pemilik akun @masjojoo