Oleh: Jonathan Alfrendi*
Indonesia berduka. Kali ini
penyebabnya bukanlah akibat dari bencana alam, bukan juga akibat wafatnya tokoh
nasional. Adalah kejadian tertangkapnya Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi
(MK), Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya
di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Rabu (3/10/2013) malam, akibat dugaan
menerima suap terkait dengan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Akil ditangkap bersama-sama dengan
anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit
Bintih, pengusaha bernisial DH, dan seorang pengusaha Palangkaraya bernama Cornelis Nalau. Akil ditangkap saat
akan ada penyerahan uang dari Chairun Nisa dan Cornelis Nalau kepada dirinya,
yang terdiri dari 282.040 dollar Singapura dan 22.000 dollar Amerika Serikat.
Uang tersebut adalah pemberian dari Hambit yang sedang berpekara dalam sengketa
Pilkada di MK.
Selain kasus Gunung Mas, pria kelahiran
Putussibau –Kalimantan Barat, juga terjerat dalam kasus suap perkara sengketa
Pilkada Lebak di Banten. Ia disangka menerima suap 1 Miliar dari adik Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Pada kedua
kasus tersebut, sang “penjaga konstitusi” ini dijadikan tersangka.
Pada momen selanjutnya, KPK mencium
adanya dugaan pencucian uang hingga indikasi penyalahgunaan narkoba yang
dilakukan oleh Akil. Pihak KPK telah memblokir sejumlah rekeningnya dan
aset-asetnya dibekukan, beserta tiga mobil mewahnya disita. KPK juga menyita
surat berharga senilai diatas 2 Miliar. Diduga surat-surat berharga tersebut
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan Akil. Penyidik KPK
juga menemukan narkoba di ruang kerja Akil di gedung MK. Namun hal itu masih
terus ditelusuri.
Terkuaknya megaskandal korupsi yang
melilit Ketua MK telah menggegerkan republik ini. Menjelang dua pekan, kasus
penangkapan Akil ini menjadi hotnews di
dalam maupun di luar negeri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun dibuat
gundah, SBY segera melakukan berbagai strategi guna menyelamatkan wajah MK.
Publik juga ikut terperangah mengapa seorang penjaga konstitusi negara, tidak
menjaga kehormatan dirinya sendiri serta kehormatan lembaga tinggi yang
dipimpinnya? Tak habis pikir seorang
penjaga benteng keadilan di negeri ini melakukan perbuatan tercela seperti itu.
Tak salah jika mantan Ketua MK ke-1,
Jimly Asshiddiqie, geram atas kasus Akil. “Ini orang (Akil) harus segera
diberhentikan. Bentuk segera majelis kehormatan. Kalau sudah tertangkap tangan,
kan, berarti dia terbukti menerima. Menurut saya, pantasnya, orang ini dihukum
mati. Walaupun undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk korupsi,”
tegasnya.
Kita tentu sepakat dengan ucapan
Jimly, bila terbukti bersalah, sebagai panglima konstitusi, Akil sudah
seharusnya dihukum mati sebagai wujud tanggung jawab moralnya kepada rakyat.
Apalagi ia pernah menyuarakan hukuman mati bagi para koruptor, akan tetapi,
bagaimana bila itu menimpa dirinya?
Di lain pihak, mantan Ketua MK
sebelum Akil, Mahfud MD, memandang kasus yang menjerat Akil seharusnya pantas
masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) karena baru ada dan pertama kali. “Tak
hanya di Indonesia saja yang gempar dengan kasus suap tersebut, tapi
mengguncangkan dunia. Tak ada dalam sejarah ketua lembaga yudikatif ditangkap
karena suap,” ujar Mahfud.
Hal itu bisa kita maklumi bahwasannya
sejak tahun 2009, MK dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi
Indonesia. Saat itu rakyat pun kian berharap kepada MK dan KPK sebagai lembaga
negara yang bisa diandalkan untuk mencukur habis korupsi di negara ini. Namun
kini, wajah MK tercoreng-moreng oleh ulah pria bekas politisi asal Partai
Golkar itu.
Lengkaplah sudah pilar-pilar trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif)
di negara ini telah terserang penyakit yang bernama korupsi. Semua lini
kehidupan bangsa ini yang terkait dengan kekuasaan sudah kecanduan oleh
korupsi. Kini korupsi sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dan menggurita.
Sungguh miris di tengah negeri yang agamis.
Apalagi MK sebagai penjaga gawang
konstitusi yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan telah ditelanjangi oleh
orang-orang yang bermental korup. Bila ditelisik, berarti ada yang salah dalam
lembaga ini: apakah itu sistemnya atau Sumber Daya Manusianya (SDM). Atau malah
kedua-duanya. Maka rumus sederhananya: sistem mesti dibangun dengan baik dan
harus diisi oleh SDM yang lebih baik juga. Dan yang kita butuhkan adalah SDM
yang punya kapasitas layaknya seorang negarawan, adil, serta tak silau terhadap
uang.
Yang pasti, peristiwa penangkapan
sang ketua nonaktif MK ini masuk kategori kejadian sangat luar biasa, bahkan
bisa jadi sebagai lonceng kematian konstitusi kita, karena telah merusak sistem
ketatanegaraan serta meruntuhkan wibawa penegak hukum. Akil telah mengkhianati
konstitusi, ia tak sadar telah menyanyikan lagu kematian bagi tegaknya hukum
dan keadilan di bumi Indonesia.
*Mahasiswa Pend.IPS
UIN Jakarta, semester madya;
Pemilik akun @masjojoo