
Oleh:
Jonathan Alfrendi*
Di
awal abad masehi negara yang kita injak sekarang bukan bernama NKRI. Dulu
namanya Nusantara. Di Nusantara kepercayaan yang paling bangkotan adalah animisme dan dinamisme, baru datanglah agama Hindu
dan Buddha. Lambat-laun Nusantara di dominasi oleh Hinduisme dan Buddhis selama
ratusan tahun. Yang perlu ditelusuri ialah bagaimanakah Islam yang kini
merupakan agama mayoritas di Indonesia mampu masuk menerobos ke sel-sel
kehidupan manusia Nusantara ketika itu? Dan faktanya kalau dahulu hinduisme dan
buddhis yang mayoritas tapi kini mereka menjadi minor.
Masuknya
Islam ke bumi Nusantara tak lepas dari pengaruh luar ketika itu. Di awal
tahun-tahun masehi wilayah Timur Tengah sudah berperadaban lebih maju ketimbang
wilayah lainnya. Pusat peradaban berasal dari situ, termasuk agama-agama. Agama
Hindu dan Buddha yang ada di Nusantara saja berasal dari Timur Tengah. Demikian
pula halnya dengan agama Islam yang tiba di Nusantara berasal dari aktivitas
yang terjadi di Timur Tengah.
Diawali
kemenangan Rasulullah saw atas kafir Quraisy Makkah, 11 H/632 M berdampak pada
percepatan proses penyebaran agama Islam (Suryanegara, 2009: 95). Penyebaran
agama Islam bak meteor yang jatuh dari kolong langit, melesat begitu cepat
merambah ke sendi-sendi wilayah di dunia ini. Seperti ke India, Cina, Eropa,
Afrika, Amerika, Asia Tenggara, termasuk Nusantara (baca: Indonesia). Agama
Islam terus bergerak melintasi beragam wilayah tanpa batas.
Secara
sistemik, ajaran Islam masuk ke setiap kulit dunia melalui aneka cara seperti
perdagangan, perkawinan, hubungan diplomatik (politik), seni-budaya,
pendidikan, serta tasawuf. Melalui cara-cara demikianlah ajaran Islam masuk dan
berkembang di Indonesia. Setelah Islam masuk barulah membentuk entitas politik
berupa kesultanan-kesultanan.
Bila
kita pergunakan pendapat Suryanegara (2009) bahwa ada tiga teori besar masuknya
Islam ke Nusantara, yaitu: pertama Teori
Gujarat, bahwa Islam datang dari wilayah Gujarat (India) melalui peran saudagar
India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua
Teori Makkah, bahwa Islam tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui
saudagar muslim sekitar abad 7 M. Ketiga Teori
Persia, menyatakan bahwa Islam tiba di Indonesia melalui peran para saudagar
asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara
sekitar abad ke-13.
Sementara
itu, ada teori yang jangan sampai kita sampingkan yaitu Teori Cina, yang
menyatakan bahwa Islam masuk pada abad 15 M. Fakta itu bisa dilihat dari background sebagian walisanga yang
berasal dari Tionghoa (Cina). Ketika itu masyarakat Cina berasal dari Kanton,
Zhangzhou, dan Quanzhou. Hal itu ada kaitannya dengan sosok Laksamana Cheng Ho,
seorang Tionghoa Muslim, yang banyak menggunakan warga Tionghoa Islam dari
Yunan dalam melaksanakan tugasnya menjalin hubungan niaga dan politik di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Semenjak tahun 1407 Cheng Ho sudah membentuk
masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang.
Maka
kalau ditanya teori manakah yang memiliki pijakan kuat, jawaban yang bijaksana
ialah Teori Gujarat dan Teori Cina, tepatnya sekitar abad 7 M. Kedua teori itu
sangat dominan namun masyarakat muslim juga berasal dari Arab. Sebab asal agama
Islam ialah Negara Arab. Berarti Arab juga punya kontribusi. Alasan mengenai
Teori Gujarat yaitu bahwasannya aliran Syiah ialah aliran agama Islam yang
sampai dahulu di Indonesia, yang dibawa oleh para pedagang asal Gujarat, Persi dan Arab.
Posisi
Indonesia sangatlah strategis bagi perdagangan melalui jalur pelayaran
internasional. Tiongkok dan India adalah dua kutub perniagaan yang sangat
sentral ketika itu. Aktivitas pelayaran Tiongkok-India atau sebaliknya, haruslah melewati
Nusantara tepatnya Sriwijaya. Sriwijaya pemegang kunci pelayaran Nusantara
ketika itu (abad 7). Maka pelayaran dari India atau Tiongkok harus melewati
pelabuhan Melayu di Sriwijaya sebab bandar Malaka belum lahir.
Dari
aktivitas pelayaran itu tidak menutup kemungkinan para pedagang asal Timur
Tengah telah singgah bahkan menetap di daerah pantai untuk sekadar istirahat
atau menunggu cuaca baik. Dari pantai inilah para pedagang memanfaatkan waktu
istirahat mereka untuk menyebarkan ajaran Islam. Boleh jadi proses masuknya
Islam ke Nusantara dimulai dari daerah pantai. Sebab pantai adalah tempat yang
ramai. Berawal dari pantai inilah agama Islam menerobos ke jantung pedalaman
tempat tinggal warga.
Adapun
tempat-tempat lainnya yang dipakai untuk mengenalkan ajaran Islam ialah melalui
pasar maupun pelabuhan, karena disinilah aktivitas masyarakat terlihat.
Sementara itu, Syaikh Ar-Rabwah menjelaskan bahwa wirausahawan muslim memasuki
kepulauan Indonesia terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H/644-656
M (Suryanegara, 2009:104). Diperjelas oleh J.C. Van Leur, bahwa pada 674 M di
pantai barat Sumatera telah terdapat settlement
(hunian bangsa Arab Islam) yang menetap disana (Suryanegara, 2009: 105).
Ketika
Sriwijaya sebagai kerajaan adidaya melemah di tahun 1275 M akibat ekspedisi
Pamalayu-nya Raja Kertanegara (Singasari) membuat para saudagar, mubalig, ahli
sufi yang berasal dari Timur Tengah leluasa masuk ke Nusantara. Maklum saja
sewaktu Sriwijaya berjaya, Sriwijayalah yang memegang kontrol di kawasan
Nusantara –khususnya di region barat. Kelemahan Sriwijaya itulah yang mendorong
islamisasi dibumikan di Nusantara.
Fakta
demikian memperkuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara awalnya dari barat
dahulu (Sumatera) di abad 7 M. Yang dibuktikan dengan adanya para saudagar
muslim asal Timur Tengah bermazhab Syiah yang telah menetap disana. Disusul
kemudian di bagian tengah pada abad ke 8 M. Di Indonesia bagian timur sendiri
agama Islam dikenalkan mulai abad ke 14 melalui perdagangan, dakwah oleh para
mubalig dan perkawinan. Berarti kedatangan Islam di berbagai daerah di
Nusantara tidaklah bersamaan.
Untuk
perkawinan yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam tidaklah
diformat atau dirancang sedemikian rupa. Perkawinan-perkawinan antara seorang
muslim dan pribumi (Hindu-Buddha) mengalir begitu saja. Seperti, perkawinan
Raja Kertabumi V yang menikah dengan Amarawati (muslimah), melahirkan Raden
Fatah. Kemudian perkawinan antara pedagang Tionghoa muslim dengan wanita
pribumi yang melahirkan muslim peranakan.
Hal
itu menandakan bahwa masyarakat Nusantara semasa Hindu-Buddha telah menanamkan
milai-nilai toleransi beragama. Mereka menerima agama Islam dengan sifat damai
dan terbuka. Selain itu, bukti toleransi lainnya ketika dakwah Islam tidak
dilarang. Termasuk aktivitas dakwah Sunan Ampel di Surabaya dan Maulana Malik
Ibrahim di Gresik. Yang uniknya lagi terdapat makam-makam orang Jawa muslim di
dekat keraton Majapahit. Kita tahu Majapahit merupakan kerajaan yang superior
ketika itu. Sifat-sifat toleransi inilah yang sebenarnya mencerminkan watak
asli manusia Indonesia.
Secara
garis besar bahwa masuknya agama Islam dan proses Islamisasinya kepada penduduk
Nusantara maupun kepada para bangsawan kerajaan adalah dengan cara damai.
Strateginya antara lain melalui perdagangan, memanfaatkan daerah pantai, pasar,
dakwah, kesenian, perkawinan, dan sikap ramah yang diperlihatkan oleh para
penyebar agama islam ini.
Sehingga
secara bertahap, agama islam mendapat pijakan yang kuat di Indonesia sekitar
abad 15-17 M sewaktu Majapahit mengalami keruntuhan. Hingga kini agama islam
sebagai agama import merupakan agama
mayoritas di Tanah Air. Lebih tegasnya, Islam masuk bukan dengan pedang.
Dari
bukti-bukti tersebut maka kita harus mengetuk palu sebanyak tiga kali untuk
menetapkan secara sah bahwa Islam masuk dengan damai. Tok tok tok.
*Mahasiswa UIN Jakarta;
Prodi: Pend. IPS
No comments:
Post a Comment