Sunday, September 8, 2013

Islam Masuk Dengan Damai

Oleh: Jonathan Alfrendi*

Di awal abad masehi negara yang kita injak sekarang bukan bernama NKRI. Dulu namanya Nusantara. Di Nusantara kepercayaan yang paling bangkotan adalah animisme dan dinamisme, baru datanglah agama Hindu dan Buddha. Lambat-laun Nusantara di dominasi oleh Hinduisme dan Buddhis selama ratusan tahun. Yang perlu ditelusuri ialah bagaimanakah Islam yang kini merupakan agama mayoritas di Indonesia mampu masuk menerobos ke sel-sel kehidupan manusia Nusantara ketika itu? Dan faktanya kalau dahulu hinduisme dan buddhis yang mayoritas tapi kini mereka menjadi minor.
Masuknya Islam ke bumi Nusantara tak lepas dari pengaruh luar ketika itu. Di awal tahun-tahun masehi wilayah Timur Tengah sudah berperadaban lebih maju ketimbang wilayah lainnya. Pusat peradaban berasal dari situ, termasuk agama-agama. Agama Hindu dan Buddha yang ada di Nusantara saja berasal dari Timur Tengah. Demikian pula halnya dengan agama Islam yang tiba di Nusantara berasal dari aktivitas yang terjadi di Timur Tengah.
Diawali kemenangan Rasulullah saw atas kafir Quraisy Makkah, 11 H/632 M berdampak pada percepatan proses penyebaran agama Islam (Suryanegara, 2009: 95). Penyebaran agama Islam bak meteor yang jatuh dari kolong langit, melesat begitu cepat merambah ke sendi-sendi wilayah di dunia ini. Seperti ke India, Cina, Eropa, Afrika, Amerika, Asia Tenggara, termasuk Nusantara (baca: Indonesia). Agama Islam terus bergerak melintasi beragam wilayah tanpa batas.
Secara sistemik, ajaran Islam masuk ke setiap kulit dunia melalui aneka cara seperti perdagangan, perkawinan, hubungan diplomatik (politik), seni-budaya, pendidikan, serta tasawuf. Melalui cara-cara demikianlah ajaran Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Setelah Islam masuk barulah membentuk entitas politik berupa kesultanan-kesultanan.
Bila kita pergunakan pendapat Suryanegara (2009) bahwa ada tiga teori besar masuknya Islam ke Nusantara, yaitu: pertama Teori Gujarat, bahwa Islam datang dari wilayah Gujarat (India) melalui peran saudagar India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua Teori Makkah, bahwa Islam tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui saudagar muslim sekitar abad 7 M. Ketiga Teori Persia, menyatakan bahwa Islam tiba di Indonesia melalui peran para saudagar asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar abad ke-13.
Sementara itu, ada teori yang jangan sampai kita sampingkan yaitu Teori Cina, yang menyatakan bahwa Islam masuk pada abad 15 M. Fakta itu bisa dilihat dari background sebagian walisanga yang berasal dari Tionghoa (Cina). Ketika itu masyarakat Cina berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Hal itu ada kaitannya dengan sosok Laksamana Cheng Ho, seorang Tionghoa Muslim, yang banyak menggunakan warga Tionghoa Islam dari Yunan dalam melaksanakan tugasnya menjalin hubungan niaga dan politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Semenjak tahun 1407 Cheng Ho sudah membentuk masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang.
Maka kalau ditanya teori manakah yang memiliki pijakan kuat, jawaban yang bijaksana ialah Teori Gujarat dan Teori Cina, tepatnya sekitar abad 7 M. Kedua teori itu sangat dominan namun masyarakat muslim juga berasal dari Arab. Sebab asal agama Islam ialah Negara Arab. Berarti Arab juga punya kontribusi. Alasan mengenai Teori Gujarat yaitu bahwasannya aliran Syiah ialah aliran agama Islam yang sampai dahulu di Indonesia, yang dibawa oleh para pedagang  asal Gujarat, Persi dan Arab.
Posisi Indonesia sangatlah strategis bagi perdagangan melalui jalur pelayaran internasional. Tiongkok dan India adalah dua kutub perniagaan yang sangat sentral ketika itu. Aktivitas pelayaran Tiongkok-India atau sebaliknya, haruslah melewati Nusantara tepatnya Sriwijaya. Sriwijaya pemegang kunci pelayaran Nusantara ketika itu (abad 7). Maka pelayaran dari India atau Tiongkok harus melewati pelabuhan Melayu di Sriwijaya sebab bandar Malaka belum lahir.
Dari aktivitas pelayaran itu tidak menutup kemungkinan para pedagang asal Timur Tengah telah singgah bahkan menetap di daerah pantai untuk sekadar istirahat atau menunggu cuaca baik. Dari pantai inilah para pedagang memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk menyebarkan ajaran Islam. Boleh jadi proses masuknya Islam ke Nusantara dimulai dari daerah pantai. Sebab pantai adalah tempat yang ramai. Berawal dari pantai inilah agama Islam menerobos ke jantung pedalaman tempat tinggal warga.
Adapun tempat-tempat lainnya yang dipakai untuk mengenalkan ajaran Islam ialah melalui pasar maupun pelabuhan, karena disinilah aktivitas masyarakat terlihat. Sementara itu, Syaikh Ar-Rabwah menjelaskan bahwa wirausahawan muslim memasuki kepulauan Indonesia terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H/644-656 M (Suryanegara, 2009:104). Diperjelas oleh J.C. Van Leur, bahwa pada 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat settlement (hunian bangsa Arab Islam) yang menetap disana (Suryanegara, 2009: 105).
Ketika Sriwijaya sebagai kerajaan adidaya melemah di tahun 1275 M akibat ekspedisi Pamalayu-nya Raja Kertanegara (Singasari) membuat para saudagar, mubalig, ahli sufi yang berasal dari Timur Tengah leluasa masuk ke Nusantara. Maklum saja sewaktu Sriwijaya berjaya, Sriwijayalah yang memegang kontrol di kawasan Nusantara –khususnya di region barat. Kelemahan Sriwijaya itulah yang mendorong islamisasi dibumikan di Nusantara.
Fakta demikian memperkuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara awalnya dari barat dahulu (Sumatera) di abad 7 M. Yang dibuktikan dengan adanya para saudagar muslim asal Timur Tengah bermazhab Syiah yang telah menetap disana. Disusul kemudian di bagian tengah pada abad ke 8 M. Di Indonesia bagian timur sendiri agama Islam dikenalkan mulai abad ke 14 melalui perdagangan, dakwah oleh para mubalig dan perkawinan. Berarti kedatangan Islam di berbagai daerah di Nusantara tidaklah bersamaan.
Untuk perkawinan yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam tidaklah diformat atau dirancang sedemikian rupa. Perkawinan-perkawinan antara seorang muslim dan pribumi (Hindu-Buddha) mengalir begitu saja. Seperti, perkawinan Raja Kertabumi V yang menikah dengan Amarawati (muslimah), melahirkan Raden Fatah. Kemudian perkawinan antara pedagang Tionghoa muslim dengan wanita pribumi yang melahirkan muslim peranakan.
Hal itu menandakan bahwa masyarakat Nusantara semasa Hindu-Buddha telah menanamkan milai-nilai toleransi beragama. Mereka menerima agama Islam dengan sifat damai dan terbuka. Selain itu, bukti toleransi lainnya ketika dakwah Islam tidak dilarang. Termasuk aktivitas dakwah Sunan Ampel di Surabaya dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Yang uniknya lagi terdapat makam-makam orang Jawa muslim di dekat keraton Majapahit. Kita tahu Majapahit merupakan kerajaan yang superior ketika itu. Sifat-sifat toleransi inilah yang sebenarnya mencerminkan watak asli manusia Indonesia.
Secara garis besar bahwa masuknya agama Islam dan proses Islamisasinya kepada penduduk Nusantara maupun kepada para bangsawan kerajaan adalah dengan cara damai. Strateginya antara lain melalui perdagangan, memanfaatkan daerah pantai, pasar, dakwah, kesenian, perkawinan, dan sikap ramah yang diperlihatkan oleh para penyebar agama islam ini.
Sehingga secara bertahap, agama islam mendapat pijakan yang kuat di Indonesia sekitar abad 15-17 M sewaktu Majapahit mengalami keruntuhan. Hingga kini agama islam sebagai agama import merupakan agama mayoritas di Tanah Air. Lebih tegasnya, Islam masuk bukan dengan pedang.
Dari bukti-bukti tersebut maka kita harus mengetuk palu sebanyak tiga kali untuk menetapkan secara sah bahwa Islam masuk dengan damai. Tok tok tok.

*Mahasiswa UIN Jakarta;
Prodi: Pend. IPS

No comments:

Post a Comment