Thursday, September 26, 2013

Maluku, Penghasil Pesepakbola Kelas Dunia*

Hadirnya Belanda di tanah Maluku bukan hanya melahirkan penjajahan sistemik, siasat, dan tindakan brutal lainnya. Namun, menetapnya Belanda selama beratus tahun di negeri penghasil rempah ini memberikan pengaruh positif yang bisa kita rasakan sebagai warga Indonesia hingga kini. Pengaruh yang paling nyata ialah munculnya pesepakbola kelas dunia yang mengaku berasal dari tanah Maluku.
Kita bisa menemukannya bila menonton pertandingan sepakbola di stasiun televisi. Apalagi bila yang dipertandingkan adalah duel antar-klub atau antar-negara yang tersohor. Lewat pemandu acara, setidaknya kita bisa menemukan beberapa pemain keturunan asal Indonesia. Bukan satu-dua pemain, melainkan cukup banyak. Ada pemain yang berlevel kelas dunia dan ada juga yang biasa-biasa saja.
Kekaguman kita sebagai rakyat Indonesia memuncak tatkala menyaksikan pertandingan sepakbola antar negara-negara dunia, khususnya di daratan Eropa. Mulai dari friendly match, kejuaran Eropa (Euro) hingga Piala Dunia. Dari situ kita bisa menemukan pemain-pemain berwajah orientalis-Indo. Dan benar saja diantara mereka banyak yang mengaku berdarah Maluku.
Sebut sajapemain sekaliber Johnny Heitinga dan Nigel de Jong, pria kelahiran Belanda yang kini bermain di Liga Inggris dan tim nasional (timnas) Belanda. Selain itu, Demy De Zeeuw, pemain yang bersinar bersama timnas Belanda dan klub asal Belanda, Ajak Amsterdam. Jauh sebelumnya kita mengenal nama-nama seperti Mark van Bommel, Denny Landzaat dan Roy Makaay, yang kini sudah pensiun dari dunia sepakbola. Hingga nama yang paling tenar, pemain sekelas, Giovanni van Bronckhoorst, pun berasal dari Maluku.
Uniknya mereka mempunyai benih darah yang serupa, yakni dari Maluku. Kebanyakan Ibu mereka berasal dari Kepulauan Rempah ini. Dan menariknya lagi mereka semua itu berasal dari negara yang sama, yakni Netherlands (Belanda) –negara yang pernah berkuasa lama di Indonesia, terutama di Maluku.
Maka tak heran tampilnya timnas sepakbola Belanda di setiap laga internasional dipastikan selalu ada pemain keturunan Maluku. Karna itu Maluku disebut sebagai “Belandanya versi hitam”. Dan dari semua pemain keturunan Maluku, hingga kini, belum ada yang bisa melebihi prestasi tertinggi dari pemain sekelas Giovanni van Bronckhoorst sebab dialah kapten timnas Belanda di Piala Dunia 2010 dan membawa Belanda merebut juara kedua (runner-up). Satu hal yang patut kitabanggakan sebagai orang Indonesia.
Ini pula yang dirasakan oleh masyarakat Maluku meski dahulu nenek moyang mereka merasakan perihnya kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Namun karna adanya perkawinan silang dengan penduduk setempat serta banyaknya rakyat Maluku yang bergabung sebagai anggota tentara Hindia-Belanda (KNIL), yang dalam perjalanannya sebagian dari mereka menetap di Belanda. Dari cara itulah embrio etnis Maluku hadir di Belanda. Yang kemudian melahirkan wajah-wajah peranakan, diantaranya ada yang menjadi pesepakbola handal. Tentu sangat mengharumkan wajah Indonesia di panggung dunia.
Mungkin bukan tahun-tahun ini saja pemain peranakan Maluku dikenal oleh dunia. Namun bila ditelusuri jauh kebelakang, keterlibatan orang-orang Maluku sebenarnya sudah ada sejak Piala Dunia pertama tahun 1938. Ketika itu kesebelasan Hindia-Belanda membawa nama Kerajaan Belanda, bukan Indonesia. Sebab ketika itu Belanda masih punya pengaruh kuat di Indonesia.
Dari daftar pemain Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, terseliplah beberapa pemain Maluku seperti Hans Taihuttu, Frederik Hukom dan Tjaak Pattiwael. Ketiga pemain Maluku ini berbaur bersama pemain dari Jawa (Nawir dan Suvarte Soedermadji), Tionghoa (Tan Djien, Bing Mo Heng, Tan Se Han dan Tan Mo Heng) serta pemain asli Belanda seperti Beuzekom dan Henk Sommers. Dari sinilah kita bisa menarik kesimpulan bahwa orang Maluku (Indonesia) pernah bermain di Piala Dunia.
Kemudian, berbagai media mengabarkan bahwa kini di kompetisi sepakbola domestik Belanda, Ere Divisie Belanda, bahkan sudah melahirkan lagi talenta-talenta baru asal Maluku yang sudah menunjukkan tanda-tanda menjadi pemain bintang di masa mendatang.
Dengan demikian, dari dunia sepakbolalah hubungan emosional Belanda-Maluku melekat begitu kental. Kualitas pemain berdarah Maluku tak kalah hebatnya dengan pemain mancanegara lainnya. Dari sederet pemain asal Maluku yang ditampilkan di atas adalah nama-nama mentereng yang dikenal oleh warga dunia. Yang tercatat sebagai pemain-pemain kelas dunia.
Bahkan, beberapa waktu lalu, pemain-pemain keturunan Maluku itu pernah datang ke Indonesia dan dengan bangga mengakui bahwa “saya berdarah Maluku”, “leluhur saya berasal dari Maluku”. Mungkin itulah wujud dari kecintaan mereka terhadap tanah leluhurnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Maluku sudah melangkah lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sebab dari sinilah produk pesepakbola kelas dunia bermunculan. Dan fakta itu tak bisa digugat.


*Penulis adalah penganggum Maluku

Thursday, September 19, 2013

PERINGATAN !!!


Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

.

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

.

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: LAWAN!

.


(Wiji Thukul, 1986)

Sunday, September 8, 2013

Demak, Arsitek Islamisasi

Oleh: Jonathan Alfrendi*
Ilustrasi: Kesultanan Demak
Benih islamisasi mulai terlihat ketika raja Majapahit, Kertabhumi V menikah dengan Amarawati (muslimah). Pernikahan beda agama tersebut melahirkan seorang pria bernama Raden Fatah di tahun 1455. Raden Fatah kecil dibesarkan dalam lingkungan muslim. Gurunya adalah Sunan Ampel dan Sunan Kudus. Karna selalu berhadapan dengan ajaran Islam maka otomatis membentuk sikap fanatismenya terhadap Islam. Raden Fatah inilah yang nantinya akan membuat pondasi islamisasi di Indonesia.
Beranjak dewasa Raden Fatah punya cita-cita untuk merobohkan hegemoni Majapahit. Tapi ia tidak mau dengan pertumpahan darah. Ia menanti situasi dan kondisi yang pas untuk menerkam Majapahit. Saat itu Demak merupakan sebuah kadipaten di bawah kontrol Majapahit. Yang memimpin Demak Raden Fatah. Majapahit sendiri setelah ditinggal mati oleh Gajah Mada dan Hayam Wuruk telah linglung.
Waktu yang dinantikan Raden Fatah pun akhirnya tiba juga. Di tahun 1478 ketika Sunan Ampel wafat, diam-diam Raden Fatah memimpin tentara Demak untuk menyerang keraton Majapahit secara mendadak. Majapahit kaget-sekagetnya. Raja Kertabhumi sebagai raja Majapahit ketika itu dibawa beserta pusaka-pusaka Kerajaan Majapahit ke Demak, dengan tujuan bahwa Majapahit itu masih tetap ada. Akhirnya Majapahit menyerah tanpa perlawanan tanpa pertumpahan darah.
Majapahit yang telah berumur 184 tahun, yang dianggap sebagai kerajaan superior di Nusantara berhasil dijinakkan oleh seorang pemuda bernama Raden Fatah. Kecerdikan yang ia miliki membuat dirinya mampu meyakinkan rakyat Jawa bahwa Demak adalah pelanjut dari Majapahit. Setelah episode Kerajaan Majapahit berakhir, Demak yang tadinya hanya sebuah kadipaten berubah menjadi kesultanan.
Raden Fatah mulai memimpin Demak di tahun 1481 M. Letak Kesultanan Demak di daerah Bintoro, Jawa Tengah. Demak didirikan dengan konsep menyatukan Nusantara. Adapun misi utamanya yaitu islamisasi di Jawa dan sekitarnya. Hal itu dilandasi oleh zeit geist (jiwa jaman) yang berkembang kala itu. Di dunia barat telah tumbuh semangat 3 G (gold, glory, gospel) sedangkan di timur dengan islamisasinya.
Secara perlahan Demak berevolusi menjadi kesultanan maritim yang perkasa dengan menguasai bandar-bandar laut seperti di Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Untuk memperkuat pertahanan, Demak membuat angkatan perang yang militan untuk menjaga pertahanan keraton dan Nusantara sekaligus menjadi modal untuk melancarkan misi islamisasi.
Berdirinya Demak tidak bisa lepas dari kontribusi para Walisanga. Rontoknya Majapahit tanpa pertumpahan darah adalah ide dari Sunan Ampel dan Sunan Kudus. Dalam hal islamisasi para Wali Sembilan ini membentuk daerah kewalian, setiap ulama diberi tugas ke wilayah-wilayah untuk islamisasi, antara lain:
             Sunan Ampel di daerah Ampel Surabaya, Maulana Malik Ibrahim di daerah Jawa Timur, Sunan Bonang di Bonang (Tuban), Sunan Dradjat di Gresik/Sedaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Kudus di daerah Kudus, Sunan Kalijaga di daerah Demak, Sunan Muria di daerah Gunung Muria dan Sunan Gunung Jati di Jawa Barat (Cirebon).
Dengan bantuan Walisanga, Kesultanan Demak menjelma menjadi episentrum islamisasi di tanah Jawa sekaligus ke wilayah timur Indonesia. Semua berkiblat ke arah Demak.
Yang tidak boleh dikesampingkan ialah peran Tionghoa Muslim dalam islamisasi. Bagi Raden Fatah para Tionghoa Muslim ini dibutuhkan untuk membangun Kesultanan Demak. Apalagi ketika Raden Fatah memerintahkan armada laut Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Siang malam para tukang-tukang yang beretnis Tionghoa ini bekerja keras untuk membuat kapal. 
Alasan mengapa Raden Fatah menginstruksikan agar menyerang Portugis karna kehadiran Portugis sangat mengancam Demak. Sejak 1511 Portugis sudah berkuasa di Malaka. Kehadiran mereka ini sesungguhnya didasari oleh semangat 3 G, yakni: gold, glory, dan gospel. Dengan semangat ini mereka bernafsu untuk menguasai wilayah Nusantara terutama yang ada rempah-rempahnya. Hal inilah yang tidak disukai oleh Kesultanan Demak.
Karna itu ketika kepemimpinan Raden Fatah, ia memerintahkan Pati Unus di tahun 1513 untuk melakukan agresi militer kepada Portugis di Malaka. Namun apadaya Pati Unus kalah di medan laga. Dikarenakan Portugis lebih canggih persenjataannya. Kekalahan itu tidak membuat Demak patah arang. Lagi-lagi Raden Fatah kembali memerintahkan armadanya untuk menyerang Portugis di Malaka lagi. Episode kedua ini dikomandoi oleh Ratu Kalinyamat (cucu Raden Fatah). Hasilnya Demak kalah juga sebab Potugis lebih perkasa.
Puncak kegemilangan Demak ketika Sultan Trenggana memimpin (1521-1546). Ia berhasil meluaskan wilayah Demak dari arah barat sampai ke timur Jawa. Trenggana berhasil meredam pengaruh Portugis di tanah Jawa. Ia tahu bahwa Demak kalah dalam hal senjata maka ia membuat siasat agar pengaruh Portugis tidak menyebar.
Yang Trenggana lakukan ialah dengan cara menaklukan Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon, yang dipimpin oleh panglima perang asal Demak bernama Fatahillah. Dengan menguasai tiga daerah itu, Demak telah menghambat kedatangan Portugis di Jawa. Fatahillah berhasil menguasai ketiga daerah Jawa Barat itu. Kemenangan ini semakin memperkuat hegemoni Demak di tanah Jawa.
Hegemoni Demak bukan hanya berkibar di tanah Jawa saja. Demak juga memiliki pengaruh di Palembang, Jambi bahkan sampai ke Banjarmasin. Demak memberikan bantuan kepada Kerajaan Banjar (Kalimantan) sebagai bentuk usaha perluasan pengaruh Demak. Banjarmasin dianggap penting sebagai sekutu untuk membendung ekspansi Portugis yang sedang berusaha membuat “jalan sutera” antara Malaka dan Maluku.
Untuk memperkuat posisi politik di suatu wilayah maka cara ampuhnya adalah dengan mendirikan monumen atau benteng. Inilah yang dilakukan oleh Bangsa Portugis ketika berkuasa di suatu tempat. Berbeda dengan Portugis, Demak membuat Masjid Demak. Masjid ini punya peranan penting sebagai pusat peribadatan Kesultanan Demak. Para Walisanga seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Bonang juga sering berkumpul di masjid ini. Tepatnya pendirian Masjid Demak dimanfaatkan untuk melancarkan islamisasi.
Kalau kita perhatikan berdirinya suatu bangunan bertingkat, gedung-gedung yang menjulang tinggi, monumen yang berdiri megah ataupun menara-menara pencakar langit lainnya. Believe or not, semua itu diaktori oleh para asitek.
Profesi arsitek inilah yang diperankan oleh Kesultanan Demak untuk mengkonstruk islamisasi di negara yang kita tempati ini.

*Mahasiswa Sosiologi-Antropologi

Islam Masuk Dengan Damai

Oleh: Jonathan Alfrendi*

Di awal abad masehi negara yang kita injak sekarang bukan bernama NKRI. Dulu namanya Nusantara. Di Nusantara kepercayaan yang paling bangkotan adalah animisme dan dinamisme, baru datanglah agama Hindu dan Buddha. Lambat-laun Nusantara di dominasi oleh Hinduisme dan Buddhis selama ratusan tahun. Yang perlu ditelusuri ialah bagaimanakah Islam yang kini merupakan agama mayoritas di Indonesia mampu masuk menerobos ke sel-sel kehidupan manusia Nusantara ketika itu? Dan faktanya kalau dahulu hinduisme dan buddhis yang mayoritas tapi kini mereka menjadi minor.
Masuknya Islam ke bumi Nusantara tak lepas dari pengaruh luar ketika itu. Di awal tahun-tahun masehi wilayah Timur Tengah sudah berperadaban lebih maju ketimbang wilayah lainnya. Pusat peradaban berasal dari situ, termasuk agama-agama. Agama Hindu dan Buddha yang ada di Nusantara saja berasal dari Timur Tengah. Demikian pula halnya dengan agama Islam yang tiba di Nusantara berasal dari aktivitas yang terjadi di Timur Tengah.
Diawali kemenangan Rasulullah saw atas kafir Quraisy Makkah, 11 H/632 M berdampak pada percepatan proses penyebaran agama Islam (Suryanegara, 2009: 95). Penyebaran agama Islam bak meteor yang jatuh dari kolong langit, melesat begitu cepat merambah ke sendi-sendi wilayah di dunia ini. Seperti ke India, Cina, Eropa, Afrika, Amerika, Asia Tenggara, termasuk Nusantara (baca: Indonesia). Agama Islam terus bergerak melintasi beragam wilayah tanpa batas.
Secara sistemik, ajaran Islam masuk ke setiap kulit dunia melalui aneka cara seperti perdagangan, perkawinan, hubungan diplomatik (politik), seni-budaya, pendidikan, serta tasawuf. Melalui cara-cara demikianlah ajaran Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Setelah Islam masuk barulah membentuk entitas politik berupa kesultanan-kesultanan.
Bila kita pergunakan pendapat Suryanegara (2009) bahwa ada tiga teori besar masuknya Islam ke Nusantara, yaitu: pertama Teori Gujarat, bahwa Islam datang dari wilayah Gujarat (India) melalui peran saudagar India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua Teori Makkah, bahwa Islam tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui saudagar muslim sekitar abad 7 M. Ketiga Teori Persia, menyatakan bahwa Islam tiba di Indonesia melalui peran para saudagar asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar abad ke-13.
Sementara itu, ada teori yang jangan sampai kita sampingkan yaitu Teori Cina, yang menyatakan bahwa Islam masuk pada abad 15 M. Fakta itu bisa dilihat dari background sebagian walisanga yang berasal dari Tionghoa (Cina). Ketika itu masyarakat Cina berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Hal itu ada kaitannya dengan sosok Laksamana Cheng Ho, seorang Tionghoa Muslim, yang banyak menggunakan warga Tionghoa Islam dari Yunan dalam melaksanakan tugasnya menjalin hubungan niaga dan politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Semenjak tahun 1407 Cheng Ho sudah membentuk masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang.
Maka kalau ditanya teori manakah yang memiliki pijakan kuat, jawaban yang bijaksana ialah Teori Gujarat dan Teori Cina, tepatnya sekitar abad 7 M. Kedua teori itu sangat dominan namun masyarakat muslim juga berasal dari Arab. Sebab asal agama Islam ialah Negara Arab. Berarti Arab juga punya kontribusi. Alasan mengenai Teori Gujarat yaitu bahwasannya aliran Syiah ialah aliran agama Islam yang sampai dahulu di Indonesia, yang dibawa oleh para pedagang  asal Gujarat, Persi dan Arab.
Posisi Indonesia sangatlah strategis bagi perdagangan melalui jalur pelayaran internasional. Tiongkok dan India adalah dua kutub perniagaan yang sangat sentral ketika itu. Aktivitas pelayaran Tiongkok-India atau sebaliknya, haruslah melewati Nusantara tepatnya Sriwijaya. Sriwijaya pemegang kunci pelayaran Nusantara ketika itu (abad 7). Maka pelayaran dari India atau Tiongkok harus melewati pelabuhan Melayu di Sriwijaya sebab bandar Malaka belum lahir.
Dari aktivitas pelayaran itu tidak menutup kemungkinan para pedagang asal Timur Tengah telah singgah bahkan menetap di daerah pantai untuk sekadar istirahat atau menunggu cuaca baik. Dari pantai inilah para pedagang memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk menyebarkan ajaran Islam. Boleh jadi proses masuknya Islam ke Nusantara dimulai dari daerah pantai. Sebab pantai adalah tempat yang ramai. Berawal dari pantai inilah agama Islam menerobos ke jantung pedalaman tempat tinggal warga.
Adapun tempat-tempat lainnya yang dipakai untuk mengenalkan ajaran Islam ialah melalui pasar maupun pelabuhan, karena disinilah aktivitas masyarakat terlihat. Sementara itu, Syaikh Ar-Rabwah menjelaskan bahwa wirausahawan muslim memasuki kepulauan Indonesia terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H/644-656 M (Suryanegara, 2009:104). Diperjelas oleh J.C. Van Leur, bahwa pada 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat settlement (hunian bangsa Arab Islam) yang menetap disana (Suryanegara, 2009: 105).
Ketika Sriwijaya sebagai kerajaan adidaya melemah di tahun 1275 M akibat ekspedisi Pamalayu-nya Raja Kertanegara (Singasari) membuat para saudagar, mubalig, ahli sufi yang berasal dari Timur Tengah leluasa masuk ke Nusantara. Maklum saja sewaktu Sriwijaya berjaya, Sriwijayalah yang memegang kontrol di kawasan Nusantara –khususnya di region barat. Kelemahan Sriwijaya itulah yang mendorong islamisasi dibumikan di Nusantara.
Fakta demikian memperkuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara awalnya dari barat dahulu (Sumatera) di abad 7 M. Yang dibuktikan dengan adanya para saudagar muslim asal Timur Tengah bermazhab Syiah yang telah menetap disana. Disusul kemudian di bagian tengah pada abad ke 8 M. Di Indonesia bagian timur sendiri agama Islam dikenalkan mulai abad ke 14 melalui perdagangan, dakwah oleh para mubalig dan perkawinan. Berarti kedatangan Islam di berbagai daerah di Nusantara tidaklah bersamaan.
Untuk perkawinan yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam tidaklah diformat atau dirancang sedemikian rupa. Perkawinan-perkawinan antara seorang muslim dan pribumi (Hindu-Buddha) mengalir begitu saja. Seperti, perkawinan Raja Kertabumi V yang menikah dengan Amarawati (muslimah), melahirkan Raden Fatah. Kemudian perkawinan antara pedagang Tionghoa muslim dengan wanita pribumi yang melahirkan muslim peranakan.
Hal itu menandakan bahwa masyarakat Nusantara semasa Hindu-Buddha telah menanamkan milai-nilai toleransi beragama. Mereka menerima agama Islam dengan sifat damai dan terbuka. Selain itu, bukti toleransi lainnya ketika dakwah Islam tidak dilarang. Termasuk aktivitas dakwah Sunan Ampel di Surabaya dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Yang uniknya lagi terdapat makam-makam orang Jawa muslim di dekat keraton Majapahit. Kita tahu Majapahit merupakan kerajaan yang superior ketika itu. Sifat-sifat toleransi inilah yang sebenarnya mencerminkan watak asli manusia Indonesia.
Secara garis besar bahwa masuknya agama Islam dan proses Islamisasinya kepada penduduk Nusantara maupun kepada para bangsawan kerajaan adalah dengan cara damai. Strateginya antara lain melalui perdagangan, memanfaatkan daerah pantai, pasar, dakwah, kesenian, perkawinan, dan sikap ramah yang diperlihatkan oleh para penyebar agama islam ini.
Sehingga secara bertahap, agama islam mendapat pijakan yang kuat di Indonesia sekitar abad 15-17 M sewaktu Majapahit mengalami keruntuhan. Hingga kini agama islam sebagai agama import merupakan agama mayoritas di Tanah Air. Lebih tegasnya, Islam masuk bukan dengan pedang.
Dari bukti-bukti tersebut maka kita harus mengetuk palu sebanyak tiga kali untuk menetapkan secara sah bahwa Islam masuk dengan damai. Tok tok tok.

*Mahasiswa UIN Jakarta;
Prodi: Pend. IPS

Thursday, September 5, 2013

Pembodohan Ala MOS

Oleh Jonathan Alfrendi

Peserta MOS

15 Juli 2013 lalu menjadi hari dimulainya dunia persekolahan untuk tahun ajaran baru 2013/2014. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, awal tahun ajaran baru ini hadir bersamaan dengan Bulan Suci Ramadhan. Meski begitu, hal ini tidak menyurutkan semangat para siswa untuk kembali bersekolah, terutama peserta didik baru.

Lazimnya awal tahun ajaran baru, kegiatan pengenalan lingkungan sekolah yang diperuntukkan bagi siswa baru, atau lebih dikenal dengan Masa Orientasi Sekolah (MOS) juga Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB) dilakukan selama beberapa hari. Umumnya pelaksana masa orientasi ini ialah kakak kelas dan pesertanya adalah para siswa-siswi yang telah diterima di sekolah pilihannya setelah melalui tahapan seleksi sebelumnya. Yang paling jamak adalah mereka yang berada di kelas 7 SMP dan 10 SMA.

MOS atau MOPDB kali ini, seperti sebelumnya, masih diwarnai oleh cara-cara lama yang justru cenderung melenceng dari tujuan dari kegiatan itu sendiri. Para anak didik baru harus mempersiapkan berbagai hal yang justru terlihat di luar nalar kita. Umumnya mereka tampil dengan aneka atribut yang justru menimbulkan gelak tawa.

Ada yang memakai topi dari belahan bola plastik. Wanita dengan aneka kunciran warna-warni yang menghiasi kepalanya. Mengenakan tanda pengenal yang lebar. Memakai tas kardus atau karung. Membawa balon udara hingga memakai kaus kaki yang berbeda. Mereka juga diwajibkan untuk membawa makanan, seperti: coklat, mie rebus, roti. Bahkan ada juga yang diharuskan membawa sapu ijuk, sapu pel dan kemudian diserahkan kepada sekolah.

Bagi mereka yang tidak membawa perlengkapan itu akan mendapat hukuman dari seniornya. Sanksinya dapat berupa teguran hingga fisik. Mau tak mau mereka harus menuruti semua kehendak yang telah digariskan. Tak peduli bagaimana caranya yang penting harus ada. Terkadang para orang tua pun harus berjibaku menyiapkan segala perlengkapan anaknya walau harus memakan biaya besar. Tak jarang para orang tua mengeluh.

Jelaslah praktik MOS ini telah menjurus ke arah pembodohan. Anak didik diharuskan menuruti segala peraturan demi terbentuknya pelajar yang disiplin, taat, dan takut kepada senior-seniornya. Dan pada akhirnya setelah selesai mengikuti MOS siswa baru itu bisa merasa terkungkung secara emosional, batin, bahkan takut kepada seniornya secara berlebihan. Boleh jadi di tahun mendatang mereka akan mempraktekkan kembali hal yang sama kepada juniornya. Dan terus akan terulang.

Memang pada dasarnya kegiatan MOS bertujuan agar anak didik baru mengenal suasana lingkungan dan tata tertib sekolahnya, mengetahui hak, kewajiban dan tanggung jawabnya serta mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah barunya. Namun persoalannya apakah tujuan itu dapat dicapai bila peserta didik harus mengenakan atribut seperti badut? Bagaimana mungkin.

Bila kegiatan MOS seperti itu terus diterapkan justru akan menggiring peserta didik menjadi manusia super penurut. Tidak menaikkan derajat kemanusiaan karna sejatinya pendidikan adalah pemerdekaan, seperti ucapan Ki Hajar Dewantara -tokoh pendidikan nasional.

Padahal secara harfiah MOS memiliki arti sebagai momentum memberikan waktu kepada pelajar untuk melakukan peninjauan agar lebih kenal. Peninjauan disini diartikan untuk meninjau sekolah barunya. Maka setidaknya dalam menyampaikan materi MOS harus diselipkan beberapa hal, diantaranya.

Pertama, menghilangkan budaya mengenakan atribut-atribut sebagaimana yang telah disinggung di atas. Kedua, mengenalkan riwayat, prestasi, kekurangan, atau alumni-alumni yang telah dihasilkan oleh sekolah tersebut agar para siswa semakin mengenal lebih dalam dan tumbuh rasa memiliki. Ketiga, menumbuhkan nilai-nilai karakter kebangsaan, seperti:  menghargai perbedaan, cinta tanah air, hidup rukun, religius, anti-narkoba serta melarang sex bebas. Keempat,  mengenal kehidupan masyarakat disekitar sekolah. Sebab bagaimanapun juga sekolah dan masyarakat adalah dua hal yang saling mempengaruhi.

Kedepannya kita berharap kegiatan MOS atau MOPDB harus lebih humanis bukan membodohi peserta didik. Karna dari kegiatan MOS inilah kita dapat membentuk siswa menjadi homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesamanya.  

JONATHAN ALFRENDI
Mahasiswa Pend.IPS UIN Jakarta
Konsentrasi Sosiologi-Antropologi